DEFINISI DAN TEORI KOMUNIKASI ANTARPERSONAL
A. Definisi komunikasi antarpersonal
Komunikasi Antarpersonal adalah
komunikasi yang dilakukan kepada pihak lain untuk mendapatkan umpan balik, baik
secara langsung (face to face) maupun dengan media. Berdasarkan definisi ini
maka terdapat kelompok maya atau faktual. Contoh kelompok maya, misalnya
komunikasi melalui internet (chatting, face book, email, dll.). Berkembangnya
kelompok maya ini karena perkembangan teknologi media komunikasi. Terdapat
definisi lain tentang komunikasi interpersonal, yaitu suatu proses komunikasi
yang bersetting pada objek-objek sosial untuk mengetahui pemaknaan suatu
stimulus (dalam hal ini: informasi atau pesan).
Fungsi Komunikasi Antarpersonal
merupakan untuk mendapatkan respon atau umpan balik, Hal ini sebagai salah satu
tanda efektivitas proses komunikasi. Proses komunikasi intrapersonal yang
melibatkan beberapa unsur atau elemen sebagai berikut:
·
Sensasi
Yaitu proses menangkap stimulus (pesan/informasi
verbal maupun non verbal). Pada saat berada pada proses sensasi ini maka panca
indera manusia sangat dibutuhkan, khususnya mata dan telinga.
·
Persepsi
Yaitu proses memberikan makna terhadap informasi yang
ditangkap oleh sensasi. Pemberian makna ini melibatkan unsur subyektif.
Contohnya, evaluasi komunikan terhadap proses komunikasi, nyaman tidakkah
proses komunikasi dengan orang tersebut?
·
Memori
Yaitu proses penyimpanan informasi dan evaluasinya
dalam kognitif individu. Kemudian informasi dan evaluasi komunikasi tersebut
akan dikeluarkan atau diingat kembali pada suatu saat, baik sadar maupun
tidak sadar. Proses pengingatan kembali ini yang disebut sebagai recalling.
·
Berpikir
Yaitu proses mengolah dan memanipulasi informasi untuk
memenuhi kebutuhan atau menyelesaikan masalah. Proses ini meliputi pengambilan
keputusan, pemecahan masalah dan berfikir kreatif. Setelah mendapatkan
evaluasi terhadap proses komunikasi interpersonal maka ada antisipasi terhadap
proses komunikasi yang selanjutnya. Contohnya, jika kita merasa tidak nyaman
berkomunikasi dengan dosen maka kita mempunyai cara untuk antisipasi agar
komunikasi di kemudian hari menjadi lancar.
Seringkali komunikan tidak saling
memahami maksud pesan atau informasi dari lawan bicaranya. Hal ini
disebabkan beberapa masalah antara:
a.Komunikator
·
Hambatan biologis, misalnya komunikator gagap.
·
Hambatan psikologis, misalnya komunikator yang gugup.
·
Hambatan gender, misalnya perempuan tidak bersedia
terbuka terhadap lawan bicaranya yang laki-laki.
b.Media
·
Hambatan teknis, misalnya masalah pada teknologi
komunikasi (microphone, telepon, power point, dan lain sebagainya).
·
Hambatan geografis, misalnya blank spot pada daerah
tertentu sehingga signal HP tidak dapat ditangkap.
·
Hambatan simbol/ bahasa, yaitu perbedaan bahasa yang
digunakan pada komunitas tertentu. Misalnya kata-kata “wis mari” versi orang
Jawa Tengah diartikan sebagai sudah sembuh dari sakit sedangkan versi orang
Jawa Timur diartikan sudah selesai mengerjakan sesuatu.
·
Hambatan budaya, yaitu perbedaan budaya yang
mempengaruhi proses komunikasi.
c.
Komunikate
·
Hambatan biologis, misalnya komunikate yang tuli.
·
Hambatan psikologis, misalnya komunikate yang tidak
berkonsentrasi dengan pembicaraan.
·
Hambatan gender, misalnya seorang perempuan akan
tersipu malu jika membicarakan masalah seksual dengan seorang lelaki.
B. Teori-Teori Komunikasi
Antarpersonal
1) Self
Disclosure Theory (teori pengembangan diri)
Self disclosure theory atau juga
yang bisa disebut teori pengembangan diri adalah proses sharing atau berbagi
informasi dengan orang lain. Informasinya menyangkut pengalaman pribadi,
perasaan, rencana masa depan, impian, dan lain-lain. Dalam melakukan proses self-disclosure
atau penyingkapan diri seseorang haruslah memahami waktu, tempat, dan tingkat
keakraban. Kunci dari suksesnya self-disclosure atau penyingkapan diri
itu sendiri adalah kepercayaan.
·
Self-disclosure atau penyingkapan diri selalu
merupakan tindakan interpersonal.
·
Merupakan sebuah proses berbagi informasi dengan orang
lain, informasinya menyangkut masalah pribadi.
·
Bergantung pada kepercayaan.
·
Self-disclosure atau penyingkapan diri sangat
esensial atau mendasar dalam proses terapi kelompok.
Sidney
Marshall Jourard (1926 – 1974) adalah ahli dalam bidang Psikologi
Humanistik, dan pelopor di bidang pengungkapan diri dan kesadaran tubuh. Sidney
lahir di Kanada dan memperoleh pendidikan nya di University of Toronto, di mana
ia mengambil gelar MA pada tahun 1948. Ia melanjutkan studinya di Universitas
Buffalo (sekarang Universitas Negeri New York di Buffalo), dan memperoleh gelar
Ph.D. dalam psikologi klinis pada tahun 1953. Dr Jourard mengajar di Emory
University dan di University of Alabama Medical College sebelum bergabung
dengan Universitas Florida pada tahun 1958, di mana ia berpangkat Profesor
sampai kematiannya pada tahun 1974. Ia terlibat dalam praktek pribadi
psikoterapi individual untuk dua puluh lima tahun, dan selama sepuluh tahun terakhir
hidupnya dilakukan kelompok pertemuan, seminar pengalaman, dan loka karya untuk
Esalen Institute, Kairos, Oasis, Pusat Manusia, dan pusat-pusat pengembangan
lainnya tentang Amerika Serikat, Kanada dan Eropa. Dia adalah mantan presiden
Asosiasi Psikologi Humanistik dan penulis Penyesuaian Pribadi (1958-1963) Diri
Transparan (1964-1971), Mengungkapkan manusia untuk diriNya (1968);
Self-Disclosure (1971), dan Kepribadian Sehat (1974).
Self disclosure atau penyingkapan
diri merupakan sebuah proses membeberkan informasi tentang diri sendiri kepada
orang lain. Penyingkapan diri merupakan suatu usaha untuk membiarkan
keontentikan memasuki hubungan sosial kita, dan hal ini berkaitan dengan
kesehatan mental dan pengembangan konsep diri.
Salah satu model inovatif untuk
memahami tingkat-tingkat kesadaran dan penyingkapan diri dalam komunikasi
adalah Jendela Johari (Johari Window). “Johari” berasal dari nama depan dua
orang psikolog yang mengembangkan konsep ini, Joseph Luft dan Harry Ingham.
Model ini menawarkan suatu cara melihat kesalingbergantungan hubungan
interpersona dengan hubungan antarpersona. Model ini menggambarkan seseorang
kedalam bentuk suatu jendela yang mempunyai empat kaca.
Dalam hal penyingkapan diri ini, hal
yang paling mendasar adalah kepercayaan. Biasanya seseorang akan mulai terbuka
pada orang yang sudah lama dikenalnya. Selain itu menyangkut kepercayaan
beberapa ahli psikologi percaya bahwa perasaan percaya terhadap orang lain yang
mendasar pada seseorang ditentukan oleh pengalaman selama tahun-tahun pertama
hidupnya. Bila seseorang telah menyingkapkan sesuatu tentang dirinya pada orang
lain, ia cenderung memunculkan tingkat keterbukaan balasan pada orang yang
kedua.
Berikut ini adalah kelebihan dan kekurangan teori self
disclosure
Kelebihan Teori Penyingkapan Diri :
·
Dari penyingkapan diri kita bisa mendengarkan
pengalaman orang lain yang nantinya bisa menjadi pelajaran bagi diri kita.
·
Dengan self disclosure atau penyingkapan diri
kita juga bisa mengetahui seperti apa diri kita dalam pandangan orang lain,
dengan hal itu kita bisa melakukan introspeksi diri dalam berhubungan.
Kekurangan dari Teori Penyingkapan Diri :
·
Tidak semua orang dapat menanggapi apa yang kita
sampaikan bahkan sering terjadi salah paham sehingga malah menimbulkan masalah baru.
·
Ketika
seseorang telah mengetahui diri kita, bisa saja orang lain ini memanfatkan apa
yang telah dia ketahui mengenai diri kita.
2) Nonverbal Expectacy Violation Theory (Teori
pelanggaran harapan nonverbal)
Judee Burgoon ( 1978, 1983, 1985)
dan Steven Jones ( Burgoon & Jones. 1976) pertamakali merancang teori
pelanggaran pengharapan nonverbal (Nonverbal Expectancy Violation Theory/NEV
Theory) untuk menjelaskan konsekwensi dari perubahan jarak dan ruang pribadi
selama interaksi komunikasi antar pribadi. NEV Theory adalah salah satu teori
pertama tentang komunikasi nonverbal yang dikembangkan oleh sarjana komunikasi.
NEV Theory secara terus menerus ditinjau kembali dan diperluas; hari ini teori
digunakan untuk menjelaskan suatu cakupan luas dari hasil komunikasi yang
dihubungkan dengan pelanggaran harapan tentang perilaku komunikasi nonverbal.
Judee K. Burgoon adalah Profesor
Komunikasi dari Universitas Arizona AS dan merupakan salah seorang
teoritikus wanita yang paling tekun dalam meneliti berbagai dimensi komunikasi
nonverbal sepanjang dasawarsa 1970-an hingga 1990-an. Pemikirannya yang
tersebar dalam ratusan artikel yang dimuat dalam jurnal dan buku-buku
komunikasi memberikan pengaruh yang besar dalam membentuk pemahaman kita
tentang berbagai aspek komunikasi nonverbal dewasa ini.
Studi tentang penggunaan ruang dan
jarak dalam berkomunikasi atau lebih populer disebut Proksemik sebenarnya telah
dikembangkan oleh Edward T. Hall sejak tahun 1960-an. Dalam teorinya, Hall
membedakan empat macam jarak yang menurutnya mengambarkan ragam jarak
komunikasi yang diperbolehkan dalam kultur Amerika yakni jarak intim (0 – 18
inci), jarak pribadi (18 inci – 4 kaki), jarak sosial (4 -10 kaki), dan jarak
publik (lebih dari 10 kaki).
Terkait dengan keempat macam jarak tersebut
kemudian timbul pertanyaan-pertanyaan seperti berikut:
·
Apa yang akan terjadi ketika seseorang menunjukkan
tingkah laku nonverbal yang mengejutkan atau diluardugaan?
·
atau bagaimana persepsi seseorang terhadap tingkah
laku nonverbal yang mengejutkan tersebut bila dikaitkan dengan dayatarik
antarpribadi?.
Berawal dari pertanyaan semacam
itulah kemudian Burgoon meneliti perilaku komunikasi nonverbal masyarakat
Amerika yang menghantarkannya pada penemuan sebuah teori yang kemudian dikenal
sebagai Nonverbal Expectancy Violation Theory (NEV Theory).
Teori tersebut untuk pertama kalinya
diuraikan secara panjang lebar dalam tulisan Burgoon bertajuk A Communication
Model of Personal Space Violations : Explication and An Initial Test yang
diterbitkan dalam Jurnal Human Communication Research volume 4 tahun 1978
Teori ini bertolak dari keyakinan
bahwa kita memiliki harapan-harapan tertentu tentang bagaimana orang lain
sepatutnya berperilaku atau bertindak ketika berinteraksi dengan kita.
Kepatutan tindakan tersebut pada prinsipnya diukur berdasarkan norma-norma
sosial yang berlaku atau berdasarkan kerangka pengalaman kita sebelumnya (Field
of Experience). Terpenuhi tidaknya ekspektasi ini akan mempengaruhi bukan saja
cara interaksi kita dengan mereka tapi juga bagaimana penilaian kita terhadap
mereka serta bagaimana kelanjutan hubungan kita dengan mereka
Bertolak dari pernyataan diatas
kemudian teori ini berasumsi bahwa setiap orang memiliki harapan-harapan
tertentu pada perilaku nonverbal orang lain. Jika harapan tersebut dilanggar
maka orang akan bereaksi dengan memberikan penilaian positif atau negatif
sesuai karakteristik pelaku pelanggaran tersebut.
Jadi kita menilai suatu pelanggaran
didasarkan pada bagaimana perasaan kita pada orang tersebut. Bila kita menyukai
orang tersebut maka besar kemungkinan kita akan menerima pelanggaran tersebut
sebagai sesuatu yang wajar dan menilainya secara positif. Sebaliknya bila
sumber pelanggaran dipersepsi tidak menarik atau kita tidak menyukainya maka
kita akan menilai pelanggaran tersebut sebagai sesuatu yang negatif.
Menurut NEV Theory, beberapa faktor
saling berhubungan untuk mempengaruhi bagaimana kita bereaksi terhadap
pelanggaran dari jenis perilaku nonverbal yang kita harapkan untuk menghadapi
situasi tertentu . Ada tiga konstruk pokok dari teori ini yakni; Harapan
(Expectancies), Valensi Pelanggaran (Violations Valence), dan Valensi
Ganjaran Komunikator (Communicator Reward Valence).
1. Expectancies (Harapan)
Faktor NEV Theory yang pertama
mempertimbangkanharapankita.
Melalui norma-norma sosial kita membentuk ” harapan” tentang bagaimana orang
lain (perlu) bertindak secara nonverbal (dan secara lisan) ketika kita saling
berinteraksi dengan mereka. Harapan merujuk pada pola-pola komunikasi yang
diantisipasi oleh individu berdasarkan pijakan normatif masing-masing individu
atau pijakan kelompok. Jika perilaku orang lain menyimpang dari apa yang kita
harapkan secara khas, maka suatu pelanggaran pengharapan telah terjadi. Apapun
“yang diluar kebiasaan” menyebabkan kita untuk mengambil reaksi khusus
(menyangkut) perilaku itu. Sebagai contoh, kita akan berekasi ( dan mungkin
dengan sangat gelisah/tidak nyaman) jika seorang asing meminta berdiri sangat
dekat dengan kita. Dengan cara yang sama, kita akan bereaksi lain jika
orang yang penting dengan kita berdiri sangat jauh sekali dari kita pada
suatu pesta. Dengan kata lain kita memiliki harapan terhadap tingkah laku
nonverbal apa yang pantas dilakukan orang lain terhadap diri kita. Jika
perilaku nonverbal seseorang, ketika berkomunikasi dengan kita, sesuai atau
kurang lebih sama dengan pengharapan kita, maka kita akan merasa nyaman baik
secara fisik maupun psikologis. Persoalannya adalah tidak selamanya tingkah
laku orang lain sama dengan apa yang kita harapkan. Bila hal ini terjadi, maka
akan terjadi gangguan psikologis maupun kognitif dalam diri kita baik yang
sifatnya positif ataupun negatif. Suatu pelanggaran dari harapan nonverbal kita
dapat mengganggu ketenangan; hal tersebut dapat menyebabkan bangkitnya suasana
emosional.
2. Violation Valence (Valensi
Pelanggaran)
Ketika harapan nonverbal kita
dilanggar oleh orang lain, kita kemudian melakukan penafsiran sekaligus menilai
apakah pelanggaran tersebut positif atau negatif. Penafsiran dan evaluasi kita
tentang perilaku pelanggaran harapan nonverbal yang biasa disebut Violation Valenceatau Valensi Pelanggaran adalah elemen
kedua yang penting dari teori NEV. NEV Theory berasumsi bahwa perilaku nonverbal
adalah penuh arti dan kita mempunyai sikap tentang perilaku nonverbal yang
diharapkan. Kita bersepakat tentang beberapa hal dan tidak setuju tentang
beberapa hal yang lain. Valensi adalah istilah yang digunakan untuk menguraikan
evaluasi tentang perilaku. Perilaku tertentu jelas-jelas divalensi secara
negatif, seperti perlakuan tidak sopan atau isyarat yang menghina (seseorang,
“menghempaskan burung kamu atau memelototkankan matanya pada kamu). Perilaku
lain divalensi secara positif (seseorang memberi isyarat “v” untuk
kemenangan karena perbuatan tertentu atau menga-cungkan ibu jari
untuk jaket penghangat barumu). Sebagai contoh, bayangkan kamu berada di
suatu pesta dan seorang asing yang baru diperkenalkan tanpa diduga-duga
menyentuh tanganmu. Karena kamu baru saja berjumpa orang itu, perilaku tersebut
bisa jadi mengacaukan. Kamu mungkin menginterpretasikan perilaku tersebut
sebagai kasih sayang, suatu undangan untuk menjadi teman, atau sebagai suatu
isyarat kekuasaan. NEV Theory berargumen bahwa jika perilaku yang diberikan
lebih positif dibanding dengan apa yang diharapkan, hasilnya adalah pelanggaran
harapan yang positif. Dan sebaliknya, jika perilaku yang diberikan lebih
negatif dibanding dengan apa yang diharapkan, menghasilkan suatu pelanggaran harapan
yang negatif. Ini disebut juga Violation Valence atau Valensi Pelanggaran.
Violation Valence dikatakan positif bila kita menyukai tindakan pelanggaran
tersebut, dan sebaliknya dikatakan negatif jika kita tidak menyukai pelanggaran
tersebut
3. Communicator Reward Valence (Valensi Ganjaran Komunikator)
Valensi Ganjaran Komunikator adalah
unsur yang ketiga yang mempengaruhi reaksi kita. Sifat alami hubungan antara
komunikator mempengaruhi bagaimana mereka (terutama penerima) merasakan tentang
pelanggaran harapan. Jika kita “menyukai” sumber dari pelanggaran ( atau jika
pelanggar adalah seseorang yang memiliki status yang tinggi, kredibilitas yang
tinggi, atau secara fisik menarik), kita boleh menghargai perlakuan yang unik
tersebut. Bagaimanapun, jika kita ” tidak menyukai” sumber, kita lebih sedikit
berkeinginan memaklumi perilaku nonverbal yang tidak menepati norma-norma
sosial; kita memandang pelanggaran secara negatif.
Dengan kata lain jika kita menyukai
orang yang melanggar tersebut, kita tidak akan terfokus pada pelanggaran yang
dibuatnya, justru kita cenderung berharap agar orang tersebut tidak mematuhi
norma-norma yang berlaku. Sebaliknya bila orang yang melanggar tersebut adalah
orang yang tidak kita sukai, maka kita akan terfokus pada pelanggaran atau
kesalahannya dan berharap orang tersebut mematuhi atau tidak melanggar
norma-norma sosial yang berlaku.
Valensi Ganjaran Komunikator adalah
keseluruhan sifat-sifat positif maupun negatif yang dimiliki oleh komunikator
termasuk kemampuan komunikator dalam memberikan keuntungan/ganjaran atau
kerugian kepada kita di masa datang. Status sosial, jabatan, keahlian tertentu
atau penampilan fisik yang menarik dari komunikator dianggap sebagai sumber
ganjaran yang potensial. Orang-orang yang masuk dalam kategori ini dalam
istilah Burgoon disebut High-Reward Person. Sementara kebodohan atau kejelekan
rupa misalnya, dinilai sebagai yang sumber tidak potensial dalam memberikan
keuntungan berkomunikasi dan mereka yang berada dalam posisi ini disebut dengan
istilah Low-Reward Person. Dalam konstruk Communicator Reward Valence juga
tercakup hasil dari kalkulasi atau udit mental tentang apa keuntungan atau
kerugian dari suatu transaksi komunikasi dengan orang lain.
Burgoon dan Joseph Walther ( 1990)
menguji berbagai touch-behaviors, proxemics, dan postures untuk menentukan mana
yang diharapkan atau tak diharapkan di dalam komunikasi antarpribadi dan
bagaimana harapan dipengaruhi oleh status sumber, daya pikat, dan gender.
Beberapa penemuan menunjukkan bahwa jabatan tangan paling diharapkan sedangkan
lengan di bahu adalah paling sedikit diharapkan. Perawakan tegap paling
diharapkan dan perawakan yang tegang paling sedikit diharapkan.
Suatu studi dengan memanipulasikan
nilai penghargaan dari komunikator dan valensi dan ekstrimitas dari perilaku
pelanggaran dilakukan untuk menyelidiki interaksi antara siswa dan professor.
Suatu skenario diciptakan denmgan menyertakan percakapan siswa dan professor.
Suatu studi eksperimen memanipulasikan lokasi sentuhan profesor (tanpa
sentuhan, sentuhan di tangan, atau paha), nilai penghargaan untuk profesor (
dari terendah, tidak suka atau dan meremehkan, atau yang tertinggi suka dan
menghormati), dan jenis kelamin dari peserta (pria atau wanita). Jenis kelamin
profesor juga disesuaikan sedemikian rupa sehingga selalu berlawanan jenis
dengan peserta. Evaluasi tentang profesor kemudian diukur).
Teori pelanggaran pengharapan
nonverbal “secara parsial didukung” pada studi ini oleh karena berdasarkan
evaluasi peserta wanita, profesor menjadi lebih negatif ketika keakraban
dari sentuhan ditingkatkan. Semakin tak terduga sentuhan, semakin buruk
profesor dan interaksi dievaluasi oleh peserta wanita.
3) The Coordinated Management of Meaning Theory (Teori manajemen makna terkoodinasi)
Teori Coordinated Management of Meaning (CMM), dikembang-kan oleh W. Barnett Pearce dan Vernon Cronen (1980). Menurut Pearce dan Cronen, orang-orang berkomunikasi berdasarkan aturan. Aturan tersebut tidak hanya membantu kita dalam berkomunikasi, tetapi juga dalam menginterpretasikan apa yang dikomunika-sikan orang lain pada kita. Karena itu mereka berdua mencetuskan teori CMM (Coordinated Management of Meaning) yang dengan teori ini dapat membantu menjelaskan bagaimana individu saling menciptakan makna dalam sebuah percakapan.
CMM berfokus pada diri dan hubungannya pada orang lain, serta mengkaji
bagaimana seorang individu memberikan makna pada sebuah pesan. Jika kita
kembali melihat metafora mengenai teater, pertimbangkan bahwa semua aktor harus
dapat berimprovisasi menggunakan pengalaman akting pribadinya, serta merujuk
pada naskah yang mereka bawa dalam drama tersebut. Mengacu pada hal-hal
tersebut CMM memiliki beberapa asumsi, yaitu:
- Manusia hidup dalam komunikasi
Pearce (1989) berpendapat bahwa, “Komunikasi adalah,
dan akan selalu, menjadi lebih penting bagi manusia dari yang seharusnya.”
Maksudnya adalah, kita hidup dalam komunikasi. Dengan mengatakan demikian,
Pearce menolak model-model komunikasi tradisional sepert model komunikasi
linear. Sementara itu, para teoretikus mengajukan suatu orientasi yang sama
sekali bertolak belakang. Mereka berpendapat bahwa situasi sosial diciptakan
melalui interaksi. Oleh karena individu-individu menciptakan realitas
percakapan mereka, setiap interaksi memiliki potensi untuk menjadi unik.
Selanjutnya, Perce dan Cronen menyatakan bahwa komunikasi harus ditata
ulang dan disesuaikan kembali terhadap konteks demi memahami perilaku manusia.
- Manusia saling menciptakan realitas sosial
Kepercayaan bahwa orang-orang saling menciptakan
realitas sosial mereka dalam percakapan disebut juga konstruksionisme sosial (social constructionism).
Terkadang, tampaknya individu-individu berkomunikasi untuk mengekspresikan
emosi mereka dan untuk merujuk pada dunia disekeliling mereka. Akan tetapi,
dari mana datangnya ‘individu’, ‘emosi’, dan ’peristiwa/ objek’? Semua ini dikonstruksikan
dalam proses komunikasi.
Realitas sosial (social reality) mengacu pada pandangan
seseorang mengenai bagaimana makna dan tindakan sesuai dengan interaksi
interpersonalnya. Ketika dua orang terlibat dalam pembicaraan, masing-masing
telah memiliki banyak sekali pengalaman bercakap-cakap dimasa lalu dari
realitas sosial sebelumnya. Percakapan yang kini terjadi, akan memunculkan
realitas baru karena dua orang datang dengan sudut pandang yang berbeda.
Melalui cara inilah dua orang menciptakan realitas sosial yang baru.
- Transaksi informasi tergantung pada makna pribadi dan makna interpersonal
Pada dasarnya, transaksi informasi tergantung pada
makna pribadi dan interpersonal, sebagaimana dikemukakan oleh Donald Cushman
dan Gordon Whiting (1972). Makna
pribadi (personal meaning) didefenisikan sebagai makna yang
dicapai ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain sambil membawa
pengalamannya yang unik kedalam interaksi. Makna pribadi mem-bantu orang-orang
dalam penemuan; maksudnya, hal ini tidak hanya membuat kita mampu menemukan
informasi tentang diri kita sendiri, melainkan juga membantu kita dalam
penemuan kita mengenai orang lain.
Ketika dua
orang sepakat mengenai interpretasi satu sama lain, mereka dikatakan telah
mencapai makna interpersonal (interpersonal
meaning). Untuk mencapai ini mungkin akan membutuhkan waktu, karena
hubungan bersifat kompleks dan dihadapkan pada berbagai isu komunikasi,
tergantung dari per-masalahan mana yang sedang dibahas. Makna pribadi dan
interpersonal didapat-kan dalam percakapan dan seringkali tanpa dipikirkan
sebelumnya.
Secara umum teori CMM mengacu pada
bagaimana individu menetapkan aturan untuk mrenciptakan dan menginterpretasikan
makna dan bagaimana aturan tersebut ter-jalin dalam sebuah percakapan, di mana
makna secara konstan selalu dikoordinasikan. Teori CMM menjelaskan ketika
seseorang melakukan komunikasi interpersonal maka dua orang individu yang
terlibat di dalamnya akan membangun realitas sosialnya masing-masing dengan
cara memperoleh suatu pertalian tertentu (coherence), tindakan yang
terkoordinasi (coordinating action), serta pengalaman rahasia (experiencing
mystery).
Ø Panggung Dunia
Untuk mendeskripsikan
pengalaman-pengalaman hidup, Perce dan Cronen (1980) menggunakan metafora
“teater tanpa sutradara”. Khususnya Pearce (1989) mendeskripsikan metafora ini
dengan lebih mendetail:
Bayangkan sebuah teater yang sangat
khusus. Tidak ada penonton: semuanya “berada di atas panggung” dan menjadi
partisipan. Ada banyak barang di atas panggung, tetapi tidak tertata dengan
rapi: di sebagian panggung terdapat tumpukan kostum dan perabotan; di bagian
lain digambarkan sebuah kastil dari abad pertengahan… Para aktor berlalu lalang
di atas panggung melewati peralatan-peralatan di atas panggung, serta
berpapasan dengan calon-calon sutradara, dan aktor-aktor lain yang mungkin akan
menjadi pemeran pembantu dalam sebuah produksi drama.
Para teoretikus
percaya bahwa dalam dunia teatrikal ini, tidak ada seorang sutradara
utama, melainkan beberapa orang yang menunjuk dirinya sendiri sebagai
sutradara, yang berhasil untuk menjaga agar tidak terjadi kekacauan. Namun,
tidak dapat dipungkiri bahwa proses ini seringkali menjadi kacau. Perce dan
Cronen mengindi-kasikan bahwa para aktor yang dapat membaca naskah aktor
lainnya akan mencapai koherensi percakapan. Mereka yang tidak mampu harus mengkoordinasikan
makna mereka.
Para teoretikus CMM mengemukakan enam level makna, yaitu isi (content),
tindak tutur (speech act), episode (episodes), hubungan (relationship),
naskah kehidupaan (life script), dan pola budaya (cultural pattern).
Level-level yang lebih tinggi membantu kita memahami level-level yang lebih
rendah. Maksudnya, tiap tipe berakar dari tipe yang lain. Selain itu, Perce dan
Cronen memilih untuk menggunakan hierarkinya sebagai sebuah model dan bukannya
sebuah sistem pengurutan yang pasti. Mereka percaya bahwa tidak ada pengurutan
yang pasti karena orang-orang memiliki interpretasi makna yang berada dalam
level yang berbeda.
·
Content
Merupakan
langkah awal di mana data mentah dikonversikan menjadi makna.
·
Speech act
Yaitu tindakan-tindakan
yang kita lakukan dengan cara berbicara, termasuk memuji, menghina, berjanji,
mengancam, menyatakan, dan bertanya. Bisa dikatakan bahwa tindak tutur juga
meliputi intonasi berbicara, sehingga kita bisa mengetahui maksud dari si
pembicara tersebut.
·
Episodes
Episode
adalah rutinitas komunikasi yang memiliki awal, pertengahan dan akhir yang
jelas. Bisa dikatakan, episode mendeskripsikan konteks dimana seseorang
bertindak.
·
Relationship
Suatu
hubungan di mana dua orang menyadari potensi dan keterbatasan mereka sebagai
mitra dalam sebuah hubungan. Level hubungan menyatakan bahwa batasan-batasan hubungan
dalam parameter tersebut diciptakan untuk tindakan dan perilaku. Contoh:
bagaimana pasangan harus berbicara kepada satu sama lain, atau topik apa yang
di anggap tabu dalam hubungan mereka.
Para teoretikus
menggunakan istilah keterlibatan (enmeshment) untuk meng-gambarkan
batasan di mana orang meng-identifikasi dirinya sebagai bagian dari suatu
sistem hubungan.
·
Life script
Merupakan
kelompok-kelompok episode masa lalu dan masa kini. Cobalah bayangkan
naskah kehidupan sebagai autobiografi yang berkomunikasi dengan diri kita
sendiri. Kita ada sebagaimana adanya kita sekarang karena naskah
kehidupan yang pernah kita jalani.
·
Cultural pattern
Manusia
mengidentifikasi diri mereka dengan kelompok tertentu dalam ke-budayaan
tertentu. Lebih jauh lagi, tiap dari kita berperilaku sesuai dengan nilai-nilai
yang ada dalam masyarakat kita. Nilai-nilai tersebut berkaitan dengan jenis
kelamin, ras, kelas, dan identitas religius. Pola budaya atau arketipe, dapat
dideskripsikan sebagai “gambaran yang sangat luas dari susunan dunia dan
hubungan (seseorang) dengan susunan tersebut” (Cronen & Pearce, 1981).
Maksudnya, hubungan seseorang dengan kebudayaan yang lebih besar menjadi
relevan ketika menginterpretasikan makna.
Ø Koordinasi
Makna: Mengartikan Urutan
Koordinasi
adalah usaha untuk mengartikan pesan-pesan yang berurutan. Koordinasi ada
ketika dua orang berusaha untuk mengartikan pesan-pesan yang berurutan dalam
percakapan mereka. Menurut Perce, cara terbaik memahami koordinasi adalah
dengan mengamati orang-orang yang berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari.
Ada
tiga hasil yang mungkin muncul,ketika dua orang sedang berbincang-bincang:
mereka mencapai koordinasi, mereka tidak mencapai koordinasi, atau mereka
mencapai koordinasi dalam tingkat tertentu (Philipsen, 1995). Gerry Philipsen
meng-ingatkan bahwa realitas sosial tidak sepenuhnya dikoordinasikan dengan
sempurna, sehingga hasil yang paling mungkin dicapai adalah koordinasi yang
dicapai sebagian.
Koordinasi
dipengaruhi oleh beberapa hal, termasuk moralitas (morality) dan
ketersediaan sumber daya (resources). Pertama-tama, koordinasi
mengharuskan individu untuk menganggap tingkatan moral yang lebih tinggi
sebagai suatu hal yang penting (Pearce, 1989). Tingkatan moral pada dasarnya
merupakan suatu kesempatan bagi individu untuk mengemukakan sudut pandang etis
dalam sebuah percakapan. Para teoretikus CMM berpendapat bahwa etika merupakan
bagian yang intrinsik dalam setiap alur percakapan.
Perce
berkeyakinan bahwa orang memainkan berbagai macam peranan secara terus-menerus,
seperti saudara perempuan, ibu, kekasih, siswa, karyawan, teman, dan warga
negara. Ia percaya bahwa tiap dari kategori peran ini membawa berbagai macam
hak dan kewajiban yang berbeda antar satu orang dengan orang yang lain.
Selain
moralitas, koordinasi juga dapat dipengaruhi oleh sumber daya (resources)
yang ada pada seseorang. Ketika para teoretikus membahas mengenai sumberdaya,
mereka merujuk pada “cerita, gambar, symbol, dan institusi yang digunakan orang
untuk memaknai dunia mereka” (Pearce, 1989)”. Sumber daya juga termasuk
persepsi, kenangan, dan konsep yang membantu orang mencapai koherensi dalam
realitas sosial mereka.
Ø Aturan dan
Pola Berulang yang Tidak Diinginkan
Salah
satu cara yang digunakan individu untuk menelola dan mengoordinasikan makna
adalah melalui penggunaan aturan. Penggunaaan aturan dalam percakapan lebih
dari sekedar kemampuan untuk menggunakan aturan. Hal ini juga membutuhkan
“kemampuan fleksibel yang tidak dapat disederhanakan menjadi sebuah teknik
belaka” (Cronen, 1995).
Pearce
dan Cronen (1980) membagi dua tipe aturan. Aturan pertama adalah aturan konstitutif (constitutive
rules) yang merujuk pada bagaimana perilaku harus diinterpretasikan
dalam suatu konteks. Dengan kata lain, aturan konstitutif memberitahukan
kepada kita apa makna dari suatu perilaku tertentu. Yang kedua adalah aturan regulatif (regulative rules)
yang di dalam aturan ini mengacu pada urutan tindakan yang dilakukan oleh
seseorang dan menyampaikan apa yang akan terjadi selanjutnya dalam sebuah
percakapan.
Menurut
Cronen, Pearce, dan Linda Snavely (1979), pola berulang yang tidak
diingkan (unwanted repetitive patterns–URPs) adalah sebuah episode
konflik berurutan dan terjadi berulang kali yang seringkali tidak diinginkan
terjadi oleh individu yang terlibat dalam konflik. Pola ini terjadi karena dua
orang yang memiliki dua sistem aturan berbeda yang mengikuti suatu struktur
yang mengharuskan mereka untuk menjalankan perilaku tertentu tanpa mempedulikan
konsekuensi apa yang akan muncul.
Lalu,
mengapa dua orang selalu terlibat dalam pola tersebut? Alasan yang
pertama, mereka mungkin tidak melihat adanya pilihan lain. Alasan yang lain,
kedua orang tersebut merasa nyaman dengan konflik yang terus berulang di antara
mereka. Mereka sudah mengenal diri satu sama yang lain dan mengetahui gaya
komunikasi masing-masing dalam konflik.
Ø Charmed
Loop dan Strange Loop
Hierarki
makna yang ditampilkan sebelumnya, menunjukkan beberapa level yang rendah dapat
merefleksikan ulang dan memengaruhi makna dari level-level yang lebih tinggi.
Proses berrefleksi ini disebut sebagai rangkaian
(loop). Hal ini men-dukung pendapat Pearce dan Cronen yang menyatakan
bahwa komunikasi adalah proses yang berkesinambungan dan dinamis.
Ketika
rangkaian tersebut berjalan dengan konsisten melalui tingkatan-tingkatan yang
ada dalam hierarki disebut sebagai charmed loop (rangkaian seimbang) di
mana charmed loop tersebut terjadi ketika satu bagian dari hierarki
mendukung level yang lain. Sementara strange loop (rangkaian yang tidak
seimbang) biasanya muncul karena adanya komunikasi intrapersonal yang terjadi
saat individu-individu sedang sibuk dengan dialog internal mereka mengenai
sikap mereka yang merusak diri sendiri. Rangkaian ini akan terus berulang dan
disebut sebagai vicious cycle (lingkaran setan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar