Senin, 06 Juni 2016

KOMUNIKASI ANTARPERSONAL



DEFINISI DAN TEORI KOMUNIKASI ANTARPERSONAL
A.    Definisi komunikasi antarpersonal
Komunikasi Antarpersonal adalah komunikasi yang dilakukan kepada pihak lain untuk mendapatkan umpan balik, baik secara langsung (face to face) maupun dengan media. Berdasarkan definisi ini maka terdapat kelompok maya atau faktual. Contoh kelompok maya, misalnya komunikasi melalui internet (chatting, face book, email, dll.). Berkembangnya kelompok maya ini karena perkembangan teknologi media komunikasi. Terdapat definisi lain tentang komunikasi interpersonal, yaitu suatu proses komunikasi yang  bersetting pada objek-objek sosial untuk mengetahui pemaknaan suatu stimulus (dalam hal ini: informasi atau pesan).
Fungsi Komunikasi Antarpersonal merupakan untuk mendapatkan respon atau umpan balik, Hal ini sebagai salah satu tanda efektivitas proses komunikasi. Proses komunikasi intrapersonal yang melibatkan  beberapa unsur atau elemen sebagai berikut:
·           Sensasi
Yaitu proses menangkap stimulus (pesan/informasi verbal maupun non verbal). Pada saat berada pada proses sensasi ini maka panca indera manusia sangat dibutuhkan, khususnya mata dan telinga.
·           Persepsi
Yaitu proses memberikan makna terhadap informasi yang ditangkap oleh sensasi. Pemberian makna ini melibatkan unsur subyektif. Contohnya, evaluasi komunikan terhadap  proses komunikasi, nyaman tidakkah proses komunikasi dengan orang tersebut?
·           Memori
Yaitu proses penyimpanan informasi dan evaluasinya dalam kognitif individu. Kemudian informasi dan evaluasi komunikasi tersebut akan dikeluarkan atau diingat kembali  pada suatu saat, baik sadar maupun tidak sadar. Proses pengingatan kembali ini yang disebut sebagai recalling.
·           Berpikir
Yaitu proses mengolah dan memanipulasi informasi untuk memenuhi kebutuhan atau menyelesaikan masalah. Proses ini meliputi pengambilan keputusan, pemecahan masalah dan  berfikir kreatif. Setelah mendapatkan evaluasi terhadap proses komunikasi interpersonal maka ada antisipasi terhadap proses komunikasi yang selanjutnya. Contohnya, jika kita merasa tidak nyaman berkomunikasi dengan dosen maka kita mempunyai cara untuk antisipasi agar komunikasi di kemudian hari menjadi lancar.

Seringkali komunikan tidak saling memahami maksud pesan atau informasi dari lawan  bicaranya. Hal ini disebabkan beberapa masalah antara:
a.Komunikator
·           Hambatan biologis, misalnya komunikator gagap.
·           Hambatan psikologis, misalnya komunikator yang gugup.
·           Hambatan gender, misalnya perempuan tidak bersedia terbuka terhadap lawan bicaranya yang laki-laki.
b.Media
·         Hambatan teknis, misalnya masalah pada teknologi komunikasi (microphone, telepon, power  point, dan lain sebagainya).
·         Hambatan geografis, misalnya blank spot pada daerah tertentu sehingga signal HP tidak dapat ditangkap.
·         Hambatan simbol/ bahasa, yaitu perbedaan bahasa yang digunakan pada komunitas tertentu. Misalnya kata-kata “wis mari” versi orang Jawa Tengah diartikan sebagai sudah sembuh dari sakit sedangkan versi orang Jawa Timur diartikan sudah selesai mengerjakan sesuatu.
·         Hambatan budaya, yaitu perbedaan budaya yang mempengaruhi proses komunikasi.
c. Komunikate
·         Hambatan biologis, misalnya komunikate yang tuli.
·         Hambatan psikologis, misalnya komunikate yang tidak berkonsentrasi dengan pembicaraan.
·         Hambatan gender, misalnya seorang perempuan akan tersipu malu jika membicarakan masalah seksual dengan seorang lelaki.

B.     Teori-Teori Komunikasi Antarpersonal

1)      Self Disclosure Theory (teori pengembangan diri)
Self disclosure theory atau juga yang bisa disebut teori pengembangan diri adalah proses sharing atau berbagi informasi dengan orang lain. Informasinya menyangkut pengalaman pribadi, perasaan, rencana masa depan, impian, dan lain-lain. Dalam melakukan proses self-disclosure atau penyingkapan diri seseorang haruslah memahami waktu, tempat, dan tingkat keakraban. Kunci dari suksesnya self-disclosure atau penyingkapan diri itu sendiri adalah kepercayaan.
·         Self-disclosure atau penyingkapan diri selalu merupakan tindakan interpersonal.
·         Merupakan sebuah proses berbagi informasi dengan orang lain, informasinya menyangkut masalah pribadi.
·         Bergantung pada kepercayaan.
·         Self-disclosure atau penyingkapan diri sangat esensial atau mendasar  dalam proses terapi kelompok.
Sidney Marshall Jourard (1926 – 1974) adalah ahli  dalam bidang  Psikologi Humanistik, dan pelopor di bidang pengungkapan diri dan kesadaran tubuh. Sidney lahir di Kanada dan memperoleh pendidikan nya di University of Toronto, di mana ia mengambil gelar MA pada tahun 1948. Ia melanjutkan studinya di Universitas Buffalo (sekarang Universitas Negeri New York di Buffalo), dan memperoleh gelar Ph.D. dalam psikologi klinis pada tahun 1953. Dr Jourard mengajar di Emory University dan di University of Alabama Medical College sebelum bergabung dengan Universitas Florida pada tahun 1958, di mana ia berpangkat Profesor sampai kematiannya pada tahun 1974. Ia terlibat dalam praktek pribadi psikoterapi individual untuk dua puluh lima tahun, dan selama sepuluh tahun terakhir hidupnya dilakukan kelompok pertemuan, seminar pengalaman, dan loka karya untuk Esalen Institute, Kairos, Oasis, Pusat Manusia, dan pusat-pusat pengembangan lainnya tentang Amerika Serikat, Kanada dan Eropa. Dia adalah mantan presiden Asosiasi Psikologi Humanistik dan penulis Penyesuaian Pribadi (1958-1963) Diri Transparan (1964-1971), Mengungkapkan manusia untuk diriNya (1968); Self-Disclosure (1971), dan Kepribadian Sehat (1974).
Self disclosure atau penyingkapan diri merupakan sebuah proses membeberkan informasi tentang diri sendiri kepada orang lain. Penyingkapan diri merupakan suatu usaha untuk membiarkan keontentikan memasuki hubungan sosial kita, dan hal ini berkaitan dengan kesehatan mental dan pengembangan konsep diri.
Salah satu model inovatif untuk memahami tingkat-tingkat kesadaran dan penyingkapan diri dalam komunikasi adalah Jendela Johari (Johari Window). “Johari” berasal dari nama depan dua orang psikolog yang mengembangkan konsep ini, Joseph Luft dan Harry Ingham. Model ini menawarkan suatu cara melihat kesalingbergantungan hubungan interpersona dengan hubungan antarpersona. Model ini menggambarkan seseorang kedalam bentuk suatu jendela yang mempunyai empat kaca.
Dalam hal penyingkapan diri ini, hal yang paling mendasar adalah kepercayaan. Biasanya seseorang akan mulai terbuka pada orang yang sudah lama dikenalnya. Selain itu menyangkut kepercayaan beberapa ahli psikologi percaya bahwa perasaan percaya terhadap orang lain yang mendasar pada seseorang ditentukan oleh pengalaman selama tahun-tahun pertama hidupnya. Bila seseorang telah menyingkapkan sesuatu tentang dirinya pada orang lain, ia cenderung memunculkan tingkat keterbukaan balasan pada orang yang kedua.
Berikut ini adalah kelebihan dan kekurangan teori self disclosure
Kelebihan Teori Penyingkapan Diri :
·         Dari penyingkapan diri kita bisa mendengarkan pengalaman orang lain yang nantinya bisa menjadi pelajaran bagi diri kita.
·         Dengan self disclosure atau penyingkapan diri kita juga bisa mengetahui seperti apa diri kita dalam pandangan orang lain, dengan hal itu kita bisa melakukan introspeksi diri dalam berhubungan.
Kekurangan dari Teori Penyingkapan Diri :
·         Tidak semua orang dapat menanggapi apa yang kita sampaikan bahkan sering terjadi salah paham sehingga malah menimbulkan masalah baru.
·          Ketika seseorang telah mengetahui diri kita, bisa saja orang lain ini memanfatkan apa yang telah dia ketahui mengenai diri kita.


2)      Nonverbal Expectacy Violation Theory (Teori pelanggaran harapan nonverbal)
Judee Burgoon ( 1978, 1983, 1985) dan Steven Jones ( Burgoon & Jones. 1976) pertamakali merancang teori pelanggaran pengharapan nonverbal (Nonverbal Expectancy Violation Theory/NEV Theory) untuk menjelaskan konsekwensi dari perubahan jarak dan ruang pribadi selama interaksi komunikasi antar pribadi. NEV Theory adalah salah satu teori pertama tentang komunikasi nonverbal yang dikembangkan oleh sarjana komunikasi. NEV Theory secara terus menerus ditinjau kembali dan diperluas; hari ini teori digunakan untuk menjelaskan suatu cakupan luas dari hasil komunikasi yang dihubungkan dengan pelanggaran harapan tentang perilaku komunikasi nonverbal.
Judee K. Burgoon adalah Profesor Komunikasi dari Universitas Arizona AS dan  merupakan salah seorang teoritikus wanita yang paling tekun dalam meneliti berbagai dimensi komunikasi nonverbal sepanjang dasawarsa 1970-an hingga 1990-an. Pemikirannya yang tersebar dalam ratusan artikel yang dimuat dalam jurnal dan buku-buku komunikasi memberikan pengaruh yang besar dalam membentuk pemahaman kita tentang berbagai aspek komunikasi nonverbal dewasa ini.
Studi tentang penggunaan ruang dan jarak dalam berkomunikasi atau lebih populer disebut Proksemik sebenarnya telah dikembangkan oleh Edward T. Hall sejak tahun 1960-an. Dalam teorinya, Hall membedakan empat macam jarak yang menurutnya mengambarkan ragam jarak komunikasi yang diperbolehkan dalam kultur Amerika yakni jarak intim (0 – 18 inci), jarak pribadi (18 inci – 4 kaki), jarak sosial (4 -10 kaki), dan jarak publik (lebih dari 10 kaki).

Terkait dengan keempat macam jarak tersebut kemudian timbul pertanyaan-pertanyaan seperti berikut:
·         Apa yang akan terjadi ketika seseorang menunjukkan tingkah laku nonverbal yang mengejutkan atau diluardugaan?
·         atau bagaimana persepsi seseorang terhadap tingkah laku nonverbal yang mengejutkan tersebut bila dikaitkan dengan dayatarik antarpribadi?.
Berawal dari pertanyaan semacam itulah kemudian Burgoon meneliti perilaku komunikasi nonverbal masyarakat Amerika yang menghantarkannya pada penemuan sebuah teori yang kemudian dikenal sebagai Nonverbal Expectancy Violation Theory (NEV Theory).
Teori tersebut untuk pertama kalinya diuraikan secara panjang lebar dalam tulisan Burgoon bertajuk A Communication Model of Personal Space Violations : Explication and An Initial Test yang diterbitkan dalam Jurnal Human Communication Research volume 4 tahun 1978
Teori ini bertolak dari keyakinan bahwa kita memiliki harapan­-harapan tertentu tentang bagaimana orang lain sepatutnya berperilaku atau bertindak ketika berinteraksi dengan kita. Kepatutan tindakan tersebut pada prinsipnya diukur berdasarkan norma-norma sosial yang berlaku atau berdasarkan kerangka pengalaman kita sebelumnya (Field of Experience). Terpenuhi tidaknya ekspektasi ini akan mempengaruhi bukan saja cara interaksi kita dengan mereka tapi juga bagaimana penilaian kita terhadap mereka serta bagaimana kelanjutan hubungan kita dengan mereka
Bertolak dari pernyataan diatas kemudian teori ini berasumsi bahwa setiap orang memiliki harapan-harapan tertentu pada perilaku nonverbal orang lain. Jika harapan tersebut dilanggar maka orang akan bereaksi dengan memberikan penilaian positif atau negatif sesuai karakteristik pelaku pelanggaran tersebut.
Jadi kita menilai suatu pelanggaran didasarkan pada bagaimana perasaan kita pada orang tersebut. Bila kita menyukai orang tersebut maka besar kemungkinan kita akan menerima pelanggaran tersebut sebagai sesuatu yang wajar dan menilainya secara positif. Sebaliknya bila sumber pelanggaran dipersepsi tidak menarik atau kita tidak menyukainya maka kita akan menilai pelanggaran tersebut sebagai sesuatu yang negatif.
Menurut NEV Theory, beberapa faktor saling berhubungan untuk mempengaruhi bagaimana kita bereaksi terhadap pelanggaran dari jenis perilaku nonverbal yang kita harapkan untuk menghadapi situasi tertentu . Ada tiga konstruk pokok dari teori ini yakni; Harapan (Expectancies), Valensi Pelanggaran  (Violations Valence), dan Valensi Ganjaran Komunikator (Communicator Reward Valence).
1.      Expectancies (Harapan)
Faktor NEV Theory yang pertama mempertimbangkanharapankita. Melalui norma-norma sosial kita membentuk ” harapan” tentang bagaimana orang lain (perlu) bertindak secara nonverbal (dan secara lisan) ketika kita saling berinteraksi dengan mereka. Harapan merujuk pada pola-pola komunikasi yang diantisipasi oleh individu berdasarkan pijakan normatif masing-masing individu atau pijakan kelompok. Jika perilaku orang lain menyimpang dari apa yang kita harapkan secara khas, maka suatu pelanggaran pengharapan telah terjadi. Apapun “yang diluar kebiasaan” menyebabkan kita untuk mengambil reaksi khusus (menyangkut) perilaku itu. Sebagai contoh, kita akan berekasi ( dan mungkin dengan sangat gelisah/tidak nyaman) jika seorang asing meminta berdiri sangat dekat dengan kita. Dengan cara yang sama, kita akan bereaksi lain jika orang  yang penting dengan kita berdiri sangat jauh sekali dari kita pada suatu pesta. Dengan kata lain kita memiliki harapan terhadap tingkah laku nonverbal apa yang pantas dilakukan orang lain terhadap diri kita. Jika perilaku nonverbal seseorang, ketika berkomunikasi dengan kita, sesuai atau kurang lebih sama dengan pengharapan kita, maka kita akan merasa nyaman baik secara fisik maupun psikologis. Persoalannya adalah tidak selamanya tingkah laku orang lain sama dengan apa yang kita harapkan. Bila hal ini terjadi, maka akan terjadi gangguan psikologis maupun kognitif dalam diri kita baik yang sifatnya positif ataupun negatif. Suatu pelanggaran dari harapan nonverbal kita dapat mengganggu ketenangan; hal tersebut dapat menyebabkan bangkitnya suasana emosional.
2.      Violation Valence (Valensi Pelanggaran)
Ketika harapan nonverbal kita dilanggar oleh orang lain, kita kemudian melakukan penafsiran sekaligus menilai apakah pelanggaran tersebut positif atau negatif. Penafsiran dan evaluasi kita tentang perilaku pelanggaran harapan nonverbal yang biasa disebut Violation Valenceatau Valensi Pelanggaran adalah elemen kedua yang penting dari teori NEV. NEV Theory berasumsi bahwa perilaku nonverbal adalah penuh arti dan kita mempunyai sikap tentang perilaku nonverbal yang diharapkan. Kita bersepakat tentang  beberapa hal dan tidak setuju tentang beberapa hal yang lain. Valensi adalah istilah yang digunakan untuk menguraikan evaluasi tentang perilaku. Perilaku tertentu jelas-jelas divalensi secara negatif, seperti perlakuan tidak sopan atau isyarat yang menghina (seseorang, “menghempaskan burung kamu atau memelototkankan matanya pada kamu). Perilaku lain divalensi secara positif (seseorang memberi isyarat “v” untuk kemenangan  karena perbuatan tertentu atau  menga-cungkan ibu jari untuk jaket penghangat barumu).  Sebagai contoh, bayangkan kamu berada di suatu pesta dan seorang asing yang baru diperkenalkan tanpa diduga-duga menyentuh tanganmu. Karena kamu baru saja berjumpa orang itu, perilaku tersebut bisa jadi mengacaukan. Kamu mungkin menginterpretasikan perilaku tersebut sebagai kasih sayang, suatu undangan untuk menjadi teman, atau sebagai suatu isyarat kekuasaan. NEV Theory berargumen bahwa jika perilaku yang diberikan lebih positif dibanding dengan apa yang diharapkan, hasilnya adalah pelanggaran harapan yang positif. Dan sebaliknya, jika perilaku yang diberikan lebih negatif dibanding dengan apa yang diharapkan, menghasilkan suatu pelanggaran harapan yang negatif. Ini disebut juga Violation Valence atau Valensi Pelanggaran. Violation Valence dikatakan positif bila kita menyukai tindakan pelanggaran tersebut, dan sebaliknya dikatakan negatif jika kita tidak menyukai pelanggaran tersebut
3.      Communicator Reward Valence (Valensi Ganjaran Komunikator)
Valensi Ganjaran Komunikator adalah unsur yang ketiga yang mempengaruhi reaksi kita. Sifat alami hubungan antara komunikator mempengaruhi bagaimana mereka (terutama penerima) merasakan tentang pelanggaran harapan. Jika kita “menyukai” sumber dari pelanggaran ( atau jika pelanggar adalah seseorang yang memiliki status yang tinggi, kredibilitas yang tinggi, atau secara fisik menarik), kita boleh menghargai perlakuan yang unik tersebut. Bagaimanapun, jika kita ” tidak menyukai” sumber, kita lebih sedikit berkeinginan memaklumi perilaku nonverbal yang tidak menepati norma-norma sosial; kita memandang pelanggaran secara negatif.
Dengan kata lain jika kita menyukai orang yang melanggar tersebut, kita tidak akan terfokus pada pelanggaran yang dibuatnya, justru kita cenderung berharap agar orang tersebut tidak mematuhi norma-norma yang berlaku. Sebaliknya bila orang yang melanggar tersebut adalah orang yang tidak kita sukai, maka kita akan terfokus pada pelanggaran atau kesalahannya dan berharap orang tersebut mematuhi atau tidak melanggar norma-norma sosial yang berlaku.
Valensi Ganjaran Komunikator adalah keseluruhan sifat-sifat positif maupun negatif yang dimiliki oleh komunikator termasuk kemampuan komunikator dalam memberikan keuntungan/ganjaran atau kerugian kepada kita di masa datang. Status sosial, jabatan, keahlian tertentu atau penampilan fisik yang menarik dari komunikator dianggap sebagai sumber ganjaran yang potensial. Orang-orang yang masuk dalam kategori ini dalam istilah Burgoon disebut High-Reward Person. Sementara kebodohan atau kejelekan rupa misalnya, dinilai sebagai yang sumber tidak potensial dalam memberikan keuntungan berkomunikasi dan mereka yang berada dalam posisi ini disebut dengan istilah Low-Reward Person. Dalam konstruk Communicator Reward Valence juga tercakup hasil dari kalkulasi atau udit mental tentang apa keuntungan atau kerugian dari suatu transaksi komunikasi dengan orang lain.
Burgoon dan Joseph Walther ( 1990) menguji berbagai touch-behaviors, proxemics, dan postures untuk menentukan mana yang diharapkan atau tak diharapkan di dalam komunikasi antarpribadi dan bagaimana harapan dipengaruhi oleh status sumber, daya pikat, dan gender. Beberapa penemuan menunjukkan bahwa jabatan tangan paling diharapkan sedangkan lengan di bahu adalah paling sedikit diharapkan. Perawakan tegap paling diharapkan dan perawakan yang tegang paling sedikit diharapkan.
Suatu studi dengan memanipulasikan nilai penghargaan dari komunikator dan valensi dan ekstrimitas dari perilaku pelanggaran dilakukan untuk menyelidiki interaksi antara siswa dan professor. Suatu skenario diciptakan denmgan menyertakan percakapan siswa dan professor. Suatu studi eksperimen memanipulasikan lokasi sentuhan profesor (tanpa sentuhan, sentuhan di tangan, atau paha), nilai penghargaan untuk profesor ( dari terendah, tidak suka atau dan meremehkan, atau yang tertinggi suka dan menghormati), dan jenis kelamin dari peserta (pria atau wanita). Jenis kelamin profesor juga disesuaikan sedemikian rupa sehingga selalu berlawanan jenis dengan peserta. Evaluasi tentang profesor kemudian diukur).
Teori pelanggaran pengharapan nonverbal “secara parsial didukung” pada studi ini oleh karena berdasarkan evaluasi peserta wanita, profesor menjadi lebih  negatif ketika keakraban dari sentuhan ditingkatkan. Semakin tak terduga sentuhan, semakin buruk profesor dan interaksi dievaluasi oleh peserta wanita.

3)      The Coordinated Management of Meaning Theory (Teori manajemen makna terkoodinasi)

Teori Coordinated Management of Meaning (CMM), dikembang-kan oleh W. Barnett Pearce dan Vernon Cronen (1980). Menurut Pearce dan Cronen, orang-orang berkomunikasi berdasarkan aturan. Aturan tersebut tidak hanya membantu kita dalam berkomunikasi, tetapi juga dalam menginterpretasikan apa yang dikomunika-sikan orang lain pada kita. Karena itu mereka berdua mencetuskan teori CMM (Coordinated Management of Meaning) yang dengan teori ini dapat membantu menjelaskan bagaimana individu saling menciptakan makna dalam sebuah percakapan.

            CMM berfokus pada diri dan hubungannya pada orang lain, serta mengkaji bagaimana seorang individu memberikan makna pada sebuah pesan. Jika kita kembali melihat metafora mengenai teater, pertimbangkan bahwa semua aktor harus dapat berimprovisasi menggunakan pengalaman akting pribadinya, serta merujuk pada naskah yang mereka bawa dalam drama tersebut. Mengacu pada hal-hal tersebut CMM memiliki beberapa asumsi, yaitu:
  1. Manusia hidup dalam komunikasi
Pearce (1989) berpendapat bahwa, “Komunikasi adalah, dan akan selalu, menjadi lebih penting bagi manusia dari yang seharusnya.” Maksudnya adalah, kita hidup dalam komunikasi. Dengan mengatakan demikian, Pearce menolak model-model komunikasi tradisional sepert model komunikasi linear. Sementara itu, para teoretikus mengajukan suatu orientasi yang sama sekali bertolak belakang. Mereka berpendapat bahwa situasi sosial diciptakan melalui interaksi. Oleh karena individu-individu menciptakan realitas percakapan mereka, setiap interaksi memiliki potensi untuk menjadi unik. Selanjutnya, Perce  dan Cronen menyatakan bahwa komunikasi harus ditata ulang dan disesuaikan kembali terhadap konteks demi memahami perilaku manusia.
  1. Manusia saling menciptakan realitas sosial
Kepercayaan bahwa orang-orang saling menciptakan realitas sosial mereka dalam percakapan disebut juga konstruksionisme sosial (social constructionism). Terkadang, tampaknya individu-individu berkomunikasi untuk mengekspresikan emosi mereka dan untuk merujuk pada dunia disekeliling mereka. Akan tetapi, dari mana datangnya ‘individu’, ‘emosi’, dan ’peristiwa/ objek’? Semua ini dikonstruksikan dalam proses komunikasi.
Realitas sosial (social reality) mengacu pada pandangan seseorang mengenai bagaimana makna dan tindakan sesuai dengan interaksi interpersonalnya. Ketika dua orang terlibat dalam pembicaraan, masing-masing telah memiliki banyak sekali pengalaman bercakap-cakap dimasa lalu dari realitas sosial sebelumnya. Percakapan yang kini terjadi, akan memunculkan realitas baru karena dua orang datang dengan sudut pandang yang berbeda. Melalui cara inilah dua orang menciptakan realitas sosial yang baru.
  1. Transaksi informasi tergantung pada makna pribadi dan makna interpersonal
Pada dasarnya, transaksi informasi tergantung pada makna pribadi dan interpersonal, sebagaimana dikemukakan oleh Donald Cushman dan Gordon Whiting (1972). Makna pribadi (personal meaning) didefenisikan sebagai makna yang dicapai ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain sambil membawa pengalamannya yang unik kedalam interaksi. Makna pribadi mem-bantu orang-orang dalam penemuan; maksudnya, hal ini tidak hanya membuat kita mampu menemukan informasi tentang diri kita sendiri, melainkan juga membantu kita dalam penemuan kita mengenai orang lain.
Ketika dua orang sepakat mengenai interpretasi satu sama lain, mereka dikatakan telah mencapai makna interpersonal (interpersonal meaning). Untuk mencapai ini mungkin akan membutuhkan waktu, karena hubungan bersifat kompleks dan dihadapkan pada berbagai isu komunikasi, tergantung dari per-masalahan mana yang sedang dibahas. Makna pribadi dan interpersonal didapat-kan dalam percakapan dan seringkali tanpa dipikirkan sebelumnya.
Secara umum teori CMM mengacu pada bagaimana individu menetapkan aturan untuk mrenciptakan dan menginterpretasikan makna dan bagaimana aturan tersebut ter-jalin dalam sebuah percakapan, di mana makna secara konstan selalu dikoordinasikan. Teori CMM menjelaskan ketika seseorang melakukan komunikasi interpersonal maka dua orang individu yang terlibat di dalamnya akan membangun realitas sosialnya masing-masing dengan cara memperoleh suatu pertalian tertentu (coherence), tindakan yang terkoordinasi (coordinating action), serta pengalaman rahasia (experiencing mystery).
Ø  Panggung Dunia
Untuk mendeskripsikan pengalaman-pengalaman hidup, Perce dan Cronen (1980) menggunakan metafora “teater tanpa sutradara”. Khususnya Pearce (1989) mendeskripsikan metafora ini dengan lebih mendetail:
Bayangkan sebuah teater yang sangat khusus. Tidak ada penonton: semuanya “berada di atas panggung” dan menjadi partisipan. Ada banyak barang di atas panggung, tetapi tidak tertata dengan rapi: di sebagian panggung terdapat tumpukan kostum dan perabotan; di bagian lain digambarkan sebuah kastil dari abad pertengahan… Para aktor berlalu lalang di atas panggung melewati peralatan-peralatan di atas panggung, serta berpapasan dengan calon-calon sutradara, dan aktor-aktor lain yang mungkin akan menjadi pemeran pembantu dalam sebuah produksi drama.
Para teoretikus percaya bahwa dalam dunia teatrikal ini, tidak ada seorang  sutradara utama, melainkan beberapa orang yang menunjuk dirinya sendiri sebagai sutradara, yang berhasil untuk menjaga agar tidak terjadi kekacauan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa proses ini seringkali menjadi kacau. Perce dan Cronen mengindi-kasikan bahwa para aktor yang dapat membaca naskah aktor lainnya akan mencapai koherensi percakapan. Mereka yang tidak mampu harus mengkoordinasikan makna mereka.

            Para teoretikus CMM mengemukakan enam level makna, yaitu isi (content), tindak tutur (speech act), episode (episodes), hubungan (relationship), naskah kehidupaan (life script), dan pola budaya (cultural pattern). Level-level yang lebih tinggi membantu kita memahami level-level yang lebih rendah. Maksudnya, tiap tipe berakar dari tipe yang lain. Selain itu, Perce dan Cronen memilih untuk menggunakan hierarkinya sebagai sebuah model dan bukannya sebuah sistem pengurutan yang pasti. Mereka percaya bahwa tidak ada pengurutan yang pasti karena orang-orang memiliki interpretasi makna yang berada dalam level yang berbeda.
·         Content
Merupakan langkah awal di mana data mentah dikonversikan menjadi makna.
·         Speech act
Yaitu tindakan-tindakan yang kita lakukan dengan cara berbicara, termasuk memuji, menghina, berjanji, mengancam, menyatakan, dan bertanya. Bisa dikatakan bahwa tindak tutur juga meliputi intonasi berbicara, sehingga kita bisa mengetahui maksud dari si pembicara tersebut.
·         Episodes
Episode adalah rutinitas komunikasi yang memiliki awal, pertengahan dan akhir yang jelas. Bisa dikatakan, episode mendeskripsikan konteks dimana seseorang bertindak.
·         Relationship
Suatu hubungan di mana dua orang menyadari potensi dan keterbatasan mereka sebagai mitra dalam sebuah hubungan. Level hubungan menyatakan bahwa batasan-batasan hubungan dalam parameter tersebut diciptakan untuk tindakan dan perilaku. Contoh: bagaimana pasangan harus berbicara kepada satu sama lain, atau topik apa yang di anggap tabu dalam hubungan mereka.
Para teoretikus menggunakan istilah keterlibatan (enmeshment) untuk meng-gambarkan batasan di mana orang meng-identifikasi dirinya sebagai bagian dari suatu sistem hubungan.
·         Life script
Merupakan kelompok-kelompok episode masa lalu dan masa kini. Cobalah bayangkan naskah kehidupan sebagai autobiografi yang berkomunikasi dengan diri kita sendiri. Kita ada sebagaimana adanya kita sekarang karena naskah kehidupan yang pernah kita jalani.
·         Cultural pattern
Manusia mengidentifikasi diri mereka dengan kelompok tertentu dalam ke-budayaan tertentu. Lebih jauh lagi, tiap dari kita berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat kita. Nilai-nilai tersebut berkaitan dengan jenis kelamin, ras, kelas, dan identitas religius. Pola budaya atau arketipe, dapat dideskripsikan sebagai “gambaran yang sangat luas dari susunan dunia dan hubungan (seseorang) dengan susunan tersebut” (Cronen & Pearce, 1981). Maksudnya, hubungan seseorang dengan kebudayaan yang lebih besar menjadi relevan ketika menginterpretasikan makna.

Ø  Koordinasi Makna: Mengartikan Urutan
            Koordinasi adalah usaha untuk mengartikan pesan-pesan yang berurutan. Koordinasi ada ketika dua orang berusaha untuk mengartikan pesan-pesan yang berurutan dalam percakapan mereka. Menurut Perce, cara terbaik memahami koordinasi adalah dengan mengamati orang-orang yang berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari.
Ada tiga hasil yang mungkin muncul,ketika dua orang sedang berbincang-bincang: mereka mencapai koordinasi, mereka tidak mencapai koordinasi, atau mereka mencapai koordinasi dalam tingkat tertentu (Philipsen, 1995). Gerry Philipsen meng-ingatkan bahwa realitas sosial tidak sepenuhnya dikoordinasikan dengan sempurna, sehingga hasil yang paling mungkin dicapai adalah koordinasi yang dicapai sebagian.
Koordinasi dipengaruhi oleh beberapa hal, termasuk moralitas (morality) dan ketersediaan sumber daya (resources). Pertama-tama, koordinasi mengharuskan individu untuk menganggap tingkatan moral yang lebih tinggi sebagai suatu hal yang penting (Pearce, 1989). Tingkatan moral pada dasarnya merupakan suatu kesempatan bagi individu untuk mengemukakan sudut pandang etis dalam sebuah percakapan. Para teoretikus CMM berpendapat bahwa etika merupakan bagian yang intrinsik dalam setiap alur percakapan.
Perce berkeyakinan bahwa orang memainkan berbagai macam peranan secara terus-menerus, seperti saudara perempuan, ibu, kekasih, siswa, karyawan, teman, dan warga negara. Ia percaya bahwa tiap dari kategori peran ini membawa berbagai macam hak dan kewajiban yang berbeda antar satu orang dengan orang yang lain.
Selain moralitas, koordinasi juga dapat dipengaruhi oleh sumber daya (resources) yang ada pada seseorang. Ketika para teoretikus membahas mengenai sumberdaya, mereka merujuk pada “cerita, gambar, symbol, dan institusi yang digunakan orang untuk memaknai dunia mereka” (Pearce, 1989)”. Sumber daya juga termasuk persepsi, kenangan, dan konsep yang membantu orang mencapai koherensi dalam realitas sosial mereka.
Ø  Aturan dan Pola Berulang yang Tidak Diinginkan
Salah satu cara yang digunakan individu untuk menelola dan mengoordinasikan makna adalah melalui penggunaan aturan. Penggunaaan aturan dalam percakapan lebih dari sekedar kemampuan untuk menggunakan aturan. Hal ini juga membutuhkan “kemampuan fleksibel yang tidak dapat disederhanakan menjadi sebuah teknik belaka” (Cronen, 1995).
Pearce dan Cronen (1980) membagi dua tipe aturan. Aturan pertama adalah aturan  konstitutif (constitutive rules) yang merujuk pada bagaimana perilaku harus diinterpretasikan  dalam suatu konteks. Dengan kata lain, aturan konstitutif memberitahukan kepada kita apa makna dari suatu perilaku tertentu. Yang kedua adalah aturan regulatif (regulative rules) yang di dalam aturan ini mengacu pada urutan tindakan yang dilakukan oleh seseorang dan menyampaikan apa yang akan terjadi selanjutnya dalam sebuah percakapan.
Menurut Cronen, Pearce, dan Linda Snavely (1979),  pola berulang yang tidak diingkan (unwanted repetitive patterns–URPs) adalah sebuah episode konflik berurutan dan terjadi berulang kali yang seringkali tidak diinginkan terjadi oleh individu yang terlibat dalam konflik. Pola ini terjadi karena dua orang yang memiliki dua sistem aturan berbeda yang mengikuti suatu struktur yang mengharuskan mereka untuk menjalankan perilaku tertentu tanpa mempedulikan konsekuensi apa yang akan muncul.
Lalu, mengapa dua orang selalu terlibat dalam pola tersebut? Alasan yang pertama, mereka mungkin tidak melihat adanya pilihan lain. Alasan yang lain, kedua orang tersebut merasa nyaman dengan konflik yang terus berulang di antara mereka. Mereka sudah mengenal diri satu sama yang lain dan mengetahui gaya komunikasi masing-masing dalam konflik.
Ø  Charmed Loop dan Strange Loop
Hierarki makna yang ditampilkan sebelumnya, menunjukkan beberapa level yang rendah dapat merefleksikan ulang dan memengaruhi makna dari level-level yang lebih tinggi. Proses berrefleksi ini disebut sebagai rangkaian (loop). Hal ini men-dukung pendapat Pearce dan Cronen yang menyatakan bahwa komunikasi adalah proses yang berkesinambungan dan dinamis.
Ketika rangkaian tersebut berjalan dengan konsisten melalui tingkatan-tingkatan yang ada dalam hierarki disebut sebagai charmed loop (rangkaian seimbang) di mana charmed loop tersebut terjadi ketika satu bagian dari hierarki mendukung level yang lain. Sementara strange loop (rangkaian yang tidak seimbang) biasanya muncul karena adanya komunikasi intrapersonal yang terjadi saat individu-individu sedang sibuk dengan dialog internal mereka mengenai sikap mereka yang merusak diri sendiri. Rangkaian ini akan terus berulang dan disebut sebagai vicious cycle (lingkaran setan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar